Kami juga mendengar kisah penjajahan Belanda itu saat kami masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), walaupun kami hanya anak-anak desa yang ke Sekolah hanya beralaskan kaki kosong, tapi saat itu semangat kami menggebu-gebu menimba ilmu dari tuan guru.
Saking semangatnya, jarak bagi kami bukan halangan, hanya canda tawa yang kami hadirkan dengan kepolosan kami. Biar lewati lembah, jurang, sungai perbukitan-perbukitan curam.
Kami tidak pernah menuntut fasilitas dari sang empunya birokrat. Kami tidak pernah menuntut membuatkan jalan agar kaki kami tak terantuk batu.
Kami, masih polos dan lugu, tak ada pikiran untuk bereaksi terlalu reaktif, apalagi mencaci maki, toh suara ingusan kami saat itu tak mungkin di dengar.
Yang kami tahu hanya sekolah untuk mendapat ilmu, agar tidak dibodohi zaman.
Kami, masih ingat sejarah kemerdekaan bangsa ini ditanamkan dalam batin dan sanubari kami. Kami dididik dengan keras, luar kepala UUD45, Pancasila, NKRI dan tentu Bhineka Tunggal Ika.
Sampai saat ini, itu semua masih terbenam di otak kami. Lalu, kami ditanamkan soal luas wilayah teritorial dari ujung barat Sabang sampai ujung timur Marauke.
Satu hal lagi yang masih belum hilang dari ingatan kami, yang selalu diulang terus menerus, soal Indonesia adalah Negara yang beragam, bermacam-macam bahasa, budaya, Suku, Agama, Ras dan Antar golongan ada di Indonesia.
Mengherankan memang, kami selalu diingatkan tentang hal tersebut. Namun, akhirnya kami sadar bahwa bukan hanya kami saja yang Indonesia, tetapi jajaran pulau dari Sabang sampai Marauke adalah Indonesia hang merupakan sedara kami.
Tentu, nyanyian-nyanyian perjuangan dan nyanyian dari daerah-daerah lain diajarkan juga oleh tuan guru dengan kesabaran dan penuh kehangatan, sehingga memberi semangat bagi kami, dalam menghayati nilai-nilai Ke-Indonesia-an. (Bersambung...)
(Admn 03)
Comments
Post a Comment