Saya pernah ditanya oleh seorang kawan, "kenapa ya Tuhan memberi keyakinan melalui Agama yang berbeda? kalau tidak kita bisa bersama melakukan ibadah".
Jawaban saya ke kawan tadi sederhana saja, kebetulan muncul dipikiran saya dan sering orang bicarakan juga pada umumnya, "kita tidak diberikan Agama yang berbeda, tetapi Tuhan memberikan Orang tua kita yang berbeda sehingga kita memiliki keyakinan yang berbeda".
Kawan saya tadi belum puas dengan jawaban saya, "sama saja kalau begitu", "sama apanya?" lanjut saya menimpalinya, "ya sama saja semua karena Tuhan memberi kita agama yang berbeda dan memberi Orang Tua yang berbeda, artinya semua itu karena Tuhan. Dan hanya Tuhan yang tahu, kenapa hal itu demikian, jadi yang paling penting kita tetap saudara sebagai orang Indonesia".
Diskusi menarik ini kebali mengungkit ke pikiran saya, kalah membaca, melihat dan mendengarkan di berbagai media, membahas soal kasus Al-Maidah 51 yang melibatkan Basuki Tjahya Purnama (Ahok).
Kasus ini memberikan arti yang amat dalam. Perdebatan para Ulama, Profesor dan politisi mengulasnya sedemikian rupah sehingga memberi kebenaran pada makna pernyataan Ahok bahwa apa yang dikatakan oleh Ahok benar menistakan Agama atau tidak.
Kebanggaan sebagai orang Indonesia dan Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara tiba-tiba lenyap dan menggangu arah kenyamanan diri saya sebagai orang Indonesia, yang sejak turun temurun nenek moyangnya lahir di Indonesia sebelum dunia ini mengenal Agama.
Muncul pertanyaan yang juga menggangu pikiran saya adalah bagaimana dengan Agama yang bukan Islam, apabila Agama nya dihina, apakah Iya juga memiliki hak untuk melamporkan orang yang sudah menghina Agama nya?
Tentu itu juga membahayakan dan memecah belah Ke-Indonesia-an kita. Yang telah didirikan dengan air mata dan darah para Bapak Bangsa kita demi mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam Pancasila, sebagai serasa senasib sepenanggungan dari berbagai keberagaman, yang berjuang merebut kemerdekaan dari klonial.
Dua kalimat yang saya simpulkan dengan teman saya akhirnya memberi arti yang begitu dalam mengenai satu kata, yakni PERSAUDARAAN. Mengapa persaudaraan? Karena kita berdua bersepakat bahwa Agama dan Orang tua hanya menjadi perantara kita mengenal Tuhan dan memiliki keyakinan, sebab kita tetap satu darah Indonesia.
Dua alasan inilah yang kemudian mendesak saya, untuk mengambil hikmah soal kasus Surat Al Maidah 51. Bukan sebaliknya mencari cara untuk menjadi pemenang dengan berbagai logika yang monologi, atau memoles kata-kata dengan niatan memperkeruh suasana.
Sebelum tulisan ini saya akhiri dan sambil meneguk kopi, dalam hati saya bertanya langsung kepada-Nya, "Tuhan, mengapa saya dilahirkan melalui Agama dan Orang tua yang berbeda dengan kawan saya untuk mengenal-Mu?
Seteguk demi seteguk kopi saya habiskan, dan masih ada pertanyaan yang memaksa saya berbisik lagi, "Tuhan... hanya Engkau yang tahu Ahok telah melakukan kesalahan atau tidak, dan hanya Engkau yang tahu apakah kami telah benar atau tidak memperdebatkan ke-Esaan-Mu"
(admn 02)
Comments
Post a Comment