Sudah jadi karakter demokrasi di Indonesia, manakala pesta demokrasi lima tahunan, muncul manusia-manusia penipu, berwajah ganda. Menampilkan kesantunan laksana malaikat dari surga datang memberi kelegaan bagi masyarakat yang mengalami dahaga penderitaan, namun setelah menduduki kekuasaan, mereka amnesia dan lupa diri, kalau mereka sudah memberi bunga-bunga tidur bagi masyarakat.
Sadar atau tidak, sejak negeri ini melakukan pemilihan langsung di tingkatan eksekutif dan legislatif, menjadi awal munculnya manusia-manusia penipu ini di tengah masyarakat. Masyarakat juga selalu terjebak terhadap polesan religius manusia-manusia penipu, yang dengan mudah dan tanpa beban menjual kesantunan guna merebut hati masyarakat.
Manusia-manusia penipu ini sedemikian rupa menggunakan isu paling radikal yakni suku, agama, ras dan antar golongan tertentu yang mendominasi di dalam masyarakat, sebagai alat dalam memuluskan niat busuk mereka. Tidak sungkan-sungkan untuk memberi hujatan dan opini miring terkait lawan politik mereka, agar mendapatkan simpatik dari masyarakat.
Tidak mudah bagi masyarakat mengetahui secara pasti perilaku dan kebobrokan si calon pemimpin tersebut, dikarenakan mereka sangat pandai bersilat lidah, semua keinginan masyarakat dipenuhi, asalkan mereka dipilih.
Janji-janji manis kepada masyarakat, seolah-olah hanya mereka lah yang bisa memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat, sudah pasti masyarakat tergerak hatinya, dan menganggap calon pemimpin tadi adalah kiriman Tuhan dari surga bagi mereka.
Akan tetapi, konsep topeng religius nan santun, tidak akan bertahan lama, seiring dengan kemajuan dan perubahan zaman, masyarakat juga semakin melek politik, jika mereka tetap melakukan hal ini, maka dosa aib mereka bakal terbalaskan dari masyarakat, dengan tidak memilih mereka sebagai pemimpin.
(admn02)
Comments
Post a Comment