Mengenang Pramoedya Ananta Toer, (6 Februari 1925 - 6 Februari 2017)


Namanya tidak asing, ditelinga para peminat sastrawan atau para penyuka bacaan roman. Dia biasa dipanggil Pram. Nama lengkapnya Pramoedya Ananta Mastoer, dilahirkan di Blora 06 Februari 1925, sebagai anak sulung. Mastoer merupakan nama keluarga  Ayah nya, lalu iya menggantikan atau tepatnya menghilangkan nama "Mas" diawalan sehingga iya menyingkat Toer sebagai nama keluarganya.

Ayah Pram adalah seorang Guru, sedangkan ibunya seorang penjual nasi. Pram sendiri menyelesaikan pendidikan Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pram telah menghasilkan 50 karya tulisan. Yang diulas dengan romantika yang khas dan menggugah nurani kita, menulis merupakan pilihan hidupnya, seperti dalam tulisannyadalam bukunya yang berjudul Rumah Kaca (1988): "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian".

Pram memiliki ingatan yang kuat menjangkau orang-orang pada zamannya.  Kecintaannya pada Nusantara, dibuktikan melalui tulisan-tulisannya yang berceloteh melabrak para kaum kapitalis yang memperanakkan negara-negara imperium dalam wujud klonialisme yang menjajah anak-anak bangsa.


Membaca karya-karya Pram kita diajak mendalami situasi dan kondisi pada masa-masa penjajahan, sebagaimana dalam trilogi Pulau Buruh, yang mengulas secara detail agar kita sebagai anak-anak bangsa jangan mau menjadi apatis dalam membangun jati diri bangsa, dengan tidak mau dijadikan kebo para negara-negara kapitalis, yang rakus dan kejam kepada negara-negara dunia ketiga yang berlimpah Sumber Daya Alam (SDA) nya.

Kebenciannya kepada negara-negara kapitalis ditulisnya dalam salah satu buku tetralogi Pulau Buru, Anak Semua Bangsa: "Jangan Agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat... kau sudah lupah kiranya Nak, yang klonial selalu iblis. Tak ada klonial yang mengindahkan kepentingan bangsamu".

Pram berkali-kali mengingatkan kita, bahwa kita adalah negara maritim dunia yang tidak boleh kalah atau lenyap oleh kekuatan arus utara. Karena dahulu kekuatan arus selatan yang terkuat dan terkaya, kekuatan arus utara dibelakang. Namun, mereka sungguh licik, akhirnya arus utara berhasil menaklukkan arus selatan.

Pram telah tiada kepergiannya pada 30 April 2006, menyisahkan luka dan kesedihan. Karyanya selalu mewangi khas nusantara, aromanya terasa dikalbu di setiap pelosok-pelosok bumi. Hari ini, genap 92 tahun umurnya, wajahnya menghiasi google doodle hari ini, membuktikan darahnya mengalir di bumi ini.

(admn04)

Comments