Cerita Petu kali ini sempat membuat saya kaget, lagi-lagi Petu memberi saya informasi yang beberapa hari lalu terjadi, dan saya baru saja mengetahuinya, saya hanya membelalakkan mata saja, sambil menggeleng-gelengkan kepala sesuai tensi cerita dari Petu, kan kasihan kalau saya menjadi pendengar tetapi tidak merespon cerita Petu, yang menurutnya luar biasa menegangkan.
Petu secara terang-terangkan memberi respon tidak simpatik, terhadap sikap yang ditunjukkan oleh tamu undangan yang menolak kehadiran Djarot Saiful Hidayat, saat peringatan 51 Tahun Supersemar dan Haul Soeharto. Petu, beranggapan kehadiran Djarot mesti dilihat sebagai bentuk persaudaraan, bukan permusuhan. Inikan bisa jadi pintu masuk bagi seluruh elemen mendinginkan suasana Pilgub DKI Jakarta yang sedang panas saat ini.
Saya melihat Petu semakin bijak saat ini, tidak nampak kepolosan dari wajah Petu. Hanya, kata-kata nasihat yang meluncur dari mulutnya, dengan wajah kesal. Namun, Petu, tetap memberi respek kepada para undangan yang hadir, karena tidak berujung pada adu otot. Hanya, Petu tetap pada pendirian, bahwa tidak etis seorang tamu dihadang dan dilempari botol minuman oleh tamu undangan juga, mereka bukan yang undang, kok sewot ya, lanjut Petu.
Pelajaran yang saya petik dari cerita Petu soal etika, dewasa dan penghargaan. Tiga hal ini menjadi kesimpulan diskusi saya dengan Petu yang kalau dilihat dari latar pendidikan lulusan Sekolah Dasar (SD). Satu kata buat Petu "cerdas".
(admn04)
Comments
Post a Comment