"Ada penolakan yang hebat, ada niat yang terpendam, ada harapan yang sirna, menuntut idealisme hadir untuk melawan. Melawan bisu, melawan tuli, melawan diam, melawan apatisme dan melawan nurani penguasa. Penguasa yang sibuk di setiap sudut yang matanya terang, namun matanya kabur saat melihat air mata rakyat merintih dalam ketidakpastian".
Entahlah, saya bingung mengurai kata-kata celoteh saya. Karena kata-kata celoteh saya hanyalah tulisan yang mungkin dianggap "sampah" pinggiran yang dicaci maki dan diinjak-injak, setelah mengoyak-ngoyak nurani anda yang tersembunyi oleh kebutaan. Tetapi, anda mesti mengerti dan memahami, maksud celoteh saya yang ingin mengetuk dan mengetuk mata hati anda, bolahkah saya mengetuk mata hati anda dengan celoteh saya?
Saya hanya berbagi kesedihan, sesaat tadi saya terperanjat membaca berita dari media online mengabarkan bahwa salah satu dari petani di Kendang, Bu Patmi (48) Tahun, yang melakukan perlawanan dengan gigih terhadap keberadaan PT. Semen Indonesia di Rembang dan Pegunungan Kendeng, demi terawat dan terjaga kelestarian lingkungan di kampung halamanya, menghembuskan nafas terakhir pada dini hari pukul 02.55 WIB, Selasa, 21 Maret 2017, sesaat beliau di bawah ke RS St. Carolus, Salemba-Jakarta.
Sejenak saya terdiam, saya bangga dengan kegigihan yang ditunjukkan oleh Bu Patmi, ada pesan yang ingin disampaikan, "hak petani adalah hak yang wajib diperjuangkan", karena petani juga bagian dari warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Saya tidak memperpanjang tulisan saya, saya hanya berdoa Ibu Patmi bahagia di surga, keluarga yang ditinggal dikuatkan. Mata hati penguasa dibukakan, agar segera menyelesaikan persoalan pabrik semen di Rembang dan Pegunungan Kendeng.
(admn02)
Comments
Post a Comment