Imajinasi Hilang, Karena Isu SARA Pilkada DKI Jakarta Seperti Kacang Goreng

Saya kehabisan akal, mahu menulis celoteh, mungkin anda menunggu dengan tidak sabar celoteh saya, maklum saya sedang jadi sorotan (mimpi kali). Saya tidak mahu basa-basi, tetapi tema website memang menuntut menulis celoteh yang menyingung tawa, air mata, cacian dan amarah tentunya. Namun, disaat republik tengah didera isu sensistif akhir-akhir ini, saya mencoba mencari celah dimana letak isu yang bisa saya racik biar celoteh saya nikmat senikmat kopi hitam.

Karena, lambat laun saya terperosok dalam pikiran yang down, otak saya mendadak LOLA (loading lambat) inspirasi mendadak hilang, jidat berkerut tidak karuan, hampir saya lupa kewarganegaraan saya Indonesia atau bukan, bahkan saya lupa hari ini hari apa, bulan apa dan tahun berapa. Habis isu yang saya cicipi setiap hari hanyalah isu sikut-sikutan, diantara pasangan calon (paslon) yang sedang bermain games siapa yang paling pantas dan layak menjadi jawara, pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.

Isu yang dimunculkan seperti kacang goreng, ditambah lagi isunya sangat sensitif, ya itu menurut pendapat saya, jika tidak, mana mungkin imajinasi saya mendadak hilang, saya jadi ketakutan, mental saya hancur lebur berkeping-keping, untung saya menguk segelas kopi hitam,sehingga energi, imajinasi dan harapan saya kembali menggebu-gebu memberikan coloteh yang mungkin sedikit mengulas kegelisahan saya hari ini.

Saya banyak berharap, media mainstrim merubah tema berita hari ini, tidak usah terlalu fokus mengulas DKI Jakarta saja, banyak pokok-pokok persoalan lain yang mesti dan harus diulas, agar masyarakat Indonesia juga tahu situasi terkini bangsa ini. Otak kita jangan diisi oleh tema Pilkada DKI Jakarta yang membosankan, tidak menarik dan sungguh itu membuat saya muntah setengah hidup.

Bangsa ini, harus dibangunkan dengan dari isu SARA yang meninakbobokan cara berfikir kritis dan cerdas, kita sudah terlampau hanyut dalam cara berfikir yang radikal, dan lupa memberi energi untuk membangun masa depan diri sendiri, keluarga, dan bangsa. Cobalah media membuka cerita-cerita inspiratif, agar bangsa ini bukan menjadi bangsa pemarah, tetapi bangsa yang memberi kesejukan dan keteladanan sesuai norma ketimuran yang sudah terbangun sejak penghuni republik hari ini, belum dilahirkan.

(admn02)



Comments

Post a Comment