Sang Pendusta Rakyat


Tuanku, sudah lama kami rindu kata pasti, bukan kepalsuan. Keyakinan kami kau koyak dengan cara paling keji yaitu janji. Kesabaran kami sudah habis, dan terlampau biasa menerima omong kosong yang kau yakinkan pada kami. Kami tidak menuntut, namun kami berkelakar pada jawaban yang tak kunjung datang membantu kami, menghela nafas dengan pasti.

Keringat kami, air mata kami, bau badan kami, keriput kulit kami, kau bayar dengan dusta. Tidak salah bila kami panggil tuanku sang pendusta rakyat. Benar kami rakyat tuanku, yang menanti tawa kami tersungging dibibir kami yang tipis dan terkelupas oleh pahit yang tuanku beri. Pahit itu mengering ditenggorokan kami, dahaknya membludak disetiap air mata yang kami urai.

Sesekali kami melihat tuanku bercermin, luar memang manis, namun tetap saja pahit disaat kami melihat tuanku. Oh... kami baru dapat kabar, harga diri kami telah tuanku jual pada para bedebah dari negeri timur nan jauh. Kami terpaksa menerima, karena kami tidak ada nafas untuk melawan. Tuanku menyembah mereka, menggiring mereka seperti hewan, merusak ladang kami. Hasil panenan kami rusak, warna warni tanaman kami, berubah menjadi abu akibat api kebencian yang mereka beri.

Lihat sebentar lagi kami tinggal kenangan, dan tuanku tetap berjaya, menikmati hasil jerih payah kami. Tetapi ingat kami akan datang melawan, menuntut keadilan yang bermartabat. Karena tuanku tidak lebih dari anjing. Anjing yang tidak tahu berterimakasih terhadap seluruh kebaikan majikannya.

(Admn03)

Comments